Minggu, 02 Desember 2007

Suami Mencintai Istri


Suami kepada istri di awal pernikahan demikian mesra bergaul. Kata-katanya pun diatur sedemikian rupa agar tidak menyinggung perasaan sang primadona. Setiap benda atau simbol maknawi dikomunikasikan dengan bahasa lubuk hati. Rasa kasih namanya.
Begitu pula sang istri menanggapi tutur dan sikap kasih suami dengan penuh sentimentil. Yang berbicara bukan lagi logika tapi lubuk kalbu. Oh, betapa indahnya hidup ini.
Inilah gambaran hidup sang pengantin baru. Mungkinkah kasih sayang tertambat abadi dalam lubuk hati yang dalam ?
Bagi pasangan muslim, gambaran cinta mesra adalah suatu yang sakral. Ia perlu dipertahankan, menutupi ketidaksukaan suami kepada kelemahan istri menjadi suatu kewajiban nilai. Bukan sekedar ungkapan di bibir. „Dia tidak pernah mencela suatu makanan, jika dia suka ia makan, dan jika dia benci dia meninggalkannya" (HR Bukhari Muslim)
Kisah Aisyah dengan Rasulullah menjadi buah ibroh (pelajaran) teladan. Betapa Rasulullah mencaga cinta kasih dengan Aisyah selama mata belum berkatup. Ketika kaum Habsyi bermain tombak di masjid, Rasulullah bersikap duhai mesra. Beliau mendedahkan kain sebagai hijab berlobang, agar Aisyah bisa menonton pertunjukan heroik tersebut. Aisyah melihat pertunjukan dari balik leher/tengkuk, agar sesekali bisa bersentuhan dengan dada Rasulullah.
Kisah lain, betapa Rasulullah bermain mesra. Lomba berlari. Sesekali Rasulullah berlari dengan lambat tapi pasti mengalahkan Aisyah. Sesekali beliaupun mengalah demi suka ria Aisyah, demi membahagiakan istri.
Inilah gambaran hidup ideal dan nyata. Rasulullah melaksanakannya dengan istri-istrinya. Kadang Aisyah pun iri pada sikap Rasul yang membanggakan Khadijah. Istri pertama beliau ini memberi kehangatan hidup, membela lahir dan batin, dikala rumah tangga jihad bergelombang. Khadijah lebih banyak mendapat duka dalam liku-liku pembentukan Qo’idah Ash-Sholbah.
Suami Qona’ah (sederhana)„Tidak ada pada kami kecuali cuka, lalu Rasul minta cuka itu sebagai lauk. Lalu makanlah beliau berlaukkan cuka", demikian tutur salah seorang istri Rasul. (HR Muslim)
Rasul selau qona’ah (tidak neko-neko). Barangkali inilah salah satu kebanggaan para istri Rasul akan kepribadian beliau. Selain , beliau tampan, hangat, juga menyejukkan.
Tidak ada hati para istri yang gundah gulana disebabkan tindakan Rasul. Paling-paling sikapcemburu para istri terutama Aisyah bila ada wanita yang datang kepada beliau. „Jangan-jangan wanita ini menyerahkan diri untuk diperistri," inilah ungkapan kekhawatiran Aisyah. „Tidakkah aku menarik perhatian beliau ?", Aisyah berkontemplasi.
Bukan bersoalan itu yang berlaku pada Rasul. Beliau menikahi banyak wanita bukan demi nafsu duniawi, akan tetapi demi dakwah, jihad dan kelanjutan Islam.
Memang Aisyah pencemburu berat. Sulit diukur dengan neraca berapa berat tingkat cemburunya. Tetapi lebih cemburu lagi Rasulullah. Inilah ciri cinta yang masih melekat dalam dua pribadi sejarah. Cemburu bukan hal negatif. Tapi sebagai suatu yang inheren dalam cinta yang furqoni. Suami yang mempunyai rasa cinta kepada istrinya, tidak akan rela melihat istrinya diboyong atau digandeng oleh laki-laki lain. Jika sang istri ternyata dengan „suka rela" mau diperlakukan seperti itu oleh laki-laki lain, maka sang suami akan berkata, „Saya harus menceraikannya". Inilah cemburu yang hak (yang benar)
Kadang suami harus pergi jauh, lama tidak kembali, baik untuk mencari nafkan, menuntut ilmu atau menyeru kepada Islam. Dalam kisah kasih suami istri islami, istri akan mentsiqahi (percaya) pada amal suaminya. „Suamiku tidak akan menyeleweng dari Islam", hati kecil istri bicara. Istri pun di rumah menjaga kesucian dirinya. Ia tak akan menerima tamu di luar muhrim selama kepergian suami. Ia senantiasa menjaga anak-anak dan mendidiknya dengan pendidikan Islam serta menjaga segala harta dan wasiat suami. „Suamiku pasti kembali", suara hati sang istri penuh yakin. „kalu pun ia tidak kembali ke pangkuan, pasti dia kembali kepada-Nya". Sang istri yakin betul akan takdir Allah. Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dalam setiap keputusan-Nya yang hadir.
Berlapang DadaSebagai manusia, kadang-kadang seorang istri hanyut dalam arus kemarahan. Ia membuat sesuatu yang ganjil. Dengan sebab tertentu ia merubah sikap terhadap suaminya. Suami merasakan kemarahan tersebut. Lalu, suami menerima dengan lapang dada. Ia bersabar dan bersikap mulia. Pandangan yang dalam akan hakekat kejadian wanita membuat suami bertoleransi terhadap istri. (Bahwa wanita itu dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika sang suami memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah. Namun jika dibiarkan, maka ia juga akan tetap bengkok - pent)
sebagaimana Rasulullah pernah menunjukkan sikap beliau ketika Hafsah istri beliu berpaling semalaman dari beliau. Umar memarahi Hafsah dengan keras, karena menganggap anaknya (hafsah) berani berpaling dari Rasulullah. Umpatan Umar tersebut disampaikan kepada Rasulullah. Tapi, Rasulullah menanggapinya dengan senyum simpul.
Suami tidak layak menampilkan sosok dominasi, tidak mau kalah dalam segala hal. Kecuali hal-hal yang prinsip. Untuk hal-hal tertentu suami mau menerima keluhan rasa kesal istri. Suami menanggapinya dengan hati yang sejuk menantramkan, bukannya malah ikut-ikutan marah.
Suatu ketika, para istri shahabat mengelilingi Rasulullah, mengadukan persoaln pribadi. Pasalnya suami-suami mereka terlalu kasai (HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah) padahal dalam firman Allah :
„Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". (QS 4:19)
Dalil ayat ini menyuruh para suami untuk mampu berlapang dada, menerima fitrah manusiawi wanita. Rasulullah pernah bersabda :
„Berwasiatlah kamu dengan cara yang baik kepada wanita sebab mereka dijadikan dari ulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok di dalam tulang rusuk itu ialah bagian paling atas. Jika anda hendak meluruskannya secara keras dan paksa niscaya engkau akan patahkan dia dan jika anda membiarkan dia demikan ia akan senantiasa bengkok. Maka berwasiatlah kamu dengan baik kepada wanita". (HR Bukhari Muslim)
Suami yang berlapang dada, sabar atau menerima beberapa kelemahan sifat manusiawi wanita akan menjadi simbol kejayaan. Ia bisa adaptif dengan berbagai kronik kehidupan keluarga. Ia tahu bagaimana mengatasi dan mengelula konflik internal dan friksi hubungan sosial dengan istrinya. Ia tahu pula bagaimana cara menyelami lubuk jiwa istrinya dengan bijak, lembut, cerdik.
Kebahagiaan istri secara psikologi dalam keluarga adalah mendapatkan „rewards" positif untuk hal-hal yang positif, dan bila suami bersikap konsisten antara ucapan dan tidakannya. Pemimpin Yang Baik
„Kaum lelaki adalah pemimpin (qowwam) bagi wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka". (QS 4:34)
Kecerdikan dan sikap menerima kekurangan istri, akan meningkatkan pamor suami di hadapan istri. Dalam memperbaiki kekurangan itu ia berusalah dengan cara lemah lembut. Kebencian atau yang menyakitkan istri akan timbul, bila istri dimarahi di khalayak ramai.
Pemimpin yang baik (suami) dalam keluarga adalah keteladanan dan tanggung jawah yang panuh akan amanah yang diberikan kepadanya.
„Kamu semua adalah pemimpin dan semua pemimpin bertanggung jawab atas semua kepemimpinannya. Dan setiap penanggung jawah adalah pemimpin, dan lelaki adalah pemimpin atas kapasitas keahliannya, dan wanita adalah penjaga suami dan anak-anaknya, maka semua kamu adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya". (HR Bukhari Muslim)
Jadi Islam menuntut kaum laki-laki agar bergaul ihsan (baik) dengan istri. Sebaliknya Islam juga menyuruh istri agar patuh dan taat setia kepada suaminya dalam batas-batas halal. Dengan demikian kisah kasih cinta suami istri senantiasa dalam batas rahmat. Insya Allah akan tetap langgeng. Amin.

Pengaruh buruk perbuatan dosa

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
.: :. Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, "Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيفَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌوَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiatIa berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaandan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” [1]2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut[2] namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”13. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.14. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”[3]15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيْلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ. رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.

Bersabarlah terhadap Taqdir Allah, wahai saudaraku

Bersabarlah terhadap Taqdir Allah, wahai saudarakuPenulis: Bulletin Al Wala wal Bara' Edisi VI/03/2Aqidah, 17 April 2005, 20:51:46
Diantara jenis sabar adalah sabar terhadap taqdir Allah. Hal ini berkaitan dengan tauhid Rububiyyah, karena sesungguhnya pengaturan makhluk dan menentukan taqdir atas mereka adalah termasuk dari tuntutan Rububiyyah Allah Ta'ala. Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur Qadar atau taqdiir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqduur yaitu sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi'lu Al-Muqaddir yaitu perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta'ala). Adapun jika dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha. Contohnya adalah: Allah telah menaqdirkan mobilnya seseorang terbakar, hal ini berarti Allah telah menaqdirkan mobil tersebut terbakar. Maka ini adalah qadar yang wajib atas manusia agar ridha dengannya, karena hal ini merupakan diantara kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun jika dinisbahkan kepada al-maqduur yaitu terbakarnya mobil maka wajib atasnya untuk bersabar dan ridha dengannya adalah sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih (kuat). Sedangkan al-maqduur itu sendiri bisa berupa ketaatan-ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan dan kadang-kadang merupakan dari perbuatannya Allah semata. Adapun yang berupa ketaatan maka wajib ridha dengannya, sedangkan bila berupa kemaksiatan maka tidak boleh ridha dengannya dari sisi bahwasanya hal itu adalah al-maqduur, adapun dari sisi bahwasanya itu adalah taqdir Allah maka wajib ridha dengan taqdir Allah pada setiap keadaan, dan karena inilah Ibnul Qayyim berkata: "Maka karena itulah kita ridha dengan qadha` (ketentuan Allah) dan kita marah terhadap sesuatu yang ditentukan apabila berupa kemaksiatan." Maka barangsiapa yang melihat dengan kacamata Al-Qadha` wal Qadar kepada seseorang yang berbuat maksiat maka wajib atasnya ridha karena sesungguhnya Allahlah yang telah menaqdirkan hal itu dan padanya ada hikmah dalam taqdir-Nya. Dan sebaliknya apabila dia melihat kepada perbuatan orang tersebut maka tidak boleh ridha dengannya karena perbuatannya tadi adalah maksiat. Inilah perbedaan antara al-qadar dan al-maqduur. Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah? Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan: Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ"Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Al-Hajj:11) Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya. Kedua: sabar, yaitu sebagaimana ucapan penyair: الصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ"Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu." Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah. Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar. Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan daripada 'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا"Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya." (HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari 'A`isyah) مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ"Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa'id Al-Khudriy dan Abu Hurairah) Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut. Bagaimana Mendapatkan Ketenangan? Allah Ta'ala berfirman: وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ"Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (At-Taghaabun:11) Yang dimaksud dengan "beriman kepada Allah" dalam ayat ini adalah beriman kepada taqdir-Nya. Firman-Nya: "niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya" yaitu Allah akan memberikan ketenangan kepadanya. Dan hal ini menunjukkan bahwasanya iman itu berkaitan dengan hati, apabila hatinya mendapat petunjuk maka anggota badannya pun akan mendapat petunjuk pula, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ"Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila baik maka akan baiklah seluruh jasadnya dan apabila rusak maka akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhariy no.52 dan Muslim no.1599 dari An-Nu'man bin Basyir) Berkata 'Alqamah (menafsirkan ayat di atas): "Yaitu seseorang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima (berserah diri kepada-Nya)." Tafsiran 'Alqamah ini menunjukkan bahwasanya ridha terhadap taqdir Allah merupakan konsekuensinya iman, karena sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada Allah maka berarti dia mengetahui bahwasanya taqdir itu dari Allah, sehingga dia ridha dan menerimanya. Maka apabila dia mengetahui bahwasanya musibah itu dari Allah, akan tenang dan senanglah hatinya dan karena inilah diantara penyebab terbesar seseorang merasakan ketenangan dan kesenangan adalah beriman kepada qadha dan qadar. Tanda Kebaikan & Kejelekan Seorang Hamba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan balasannya di dunia, dan apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka Allah akan menunda balasan dari dosanya, sampai Allah sempurnakan balasannya di hari kiamat." (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Ash-Shahiihah no.1220) Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Allah menginginkan kebaikan dan kejelekan kepada hamba-Nya. Akan tetapi kejelekan yang dimaksudkan di sini bukanlah kepada dzatnya kejelekan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah: وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ"Dan kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu." (HR. Muslim no.771 dari 'Ali bin Abi Thalib) Maka barangsiapa menginginkan kejelekan kepada dzatnya maka kejelekan itu disandarkan kepadanya. Akan tetapi Allah menginginkan kejelekan karena suatu hikmah sehingga jadilah hal itu sebagai kebaikan ditinjau dari hikmah yang dikandungnya. Sesungguhnya seluruh perkara itu di tangan Allah 'Azza wa Jalla dan berjalan sesuai dengan kehendak-Nya karena Allah berfirman tentang diri-Nya: إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ"Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki." (Huud:107) Dan juga Dia berfirman: إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ"Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Al-Hajj:18) Maka semua perkara itu di tangan Allah. Dan seseorang tidak akan lepas dari salah/keliru, berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajiban, maka apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, akan Allah segerakan baginya balasan (dari perbuatan dosanya) di dunia, apakah diuji dengan hartanya atau keluarganya atau dirinya sendiri atau dengan seseorang yang menjadi sebab adanya ujian-ujian tersebut. Yang jelas, dia akan disegerakan balasan (dari perbuatan dosanya). Karena sesungguhnya balasan akibat perbuatan dosa dengan diuji pada hartanya, keluarganya ataupun dirinya, itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Maka apabila seorang hamba disegerakan balasannya dan Allah hapuskan kesalahannya dengan hal itu, maka berarti Allah mencukupkan balasan kepadanya dan hamba tersebut tidak mempunyai dosa lagi karena dosa-dosanya telah dibersihkan dengan adanya musibah dan bencana yang menimpanya. Bahkan kadang-kadang seseorang harus menanggung beratnya menghadapi sakaratul maut karena adanya satu atau dua dosa yang dia miliki supaya terhapus dosa-dosa tersebut, sehingga dia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa-dosa. Dan ini adalah suatu kenikmatan karena sesungguhnya 'adzab dunia itu lebih ringan daripada 'adzab akhirat. Akan tetapi apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka akan Allah biarkan dia dalam keadaan penuh kemaksiatan dan akan Allah curahkan berbagai kenikmatan kepadanya dan Allah hindarkan malapetaka darinya sampai dia menjadi orang yang sombong dan bangga dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Dan ketika itu dia akan menjumpai Rabbnya dalam keadaan bergelimang dengan kesalahan dan dosa lalu dia pun di akhirat disiksa akibat dosa-dosanya tersebut. Kita meminta kepada Allah keselamatan. Maka apabila engkau melihat seseorang yang nampak dengan kemaksiatan dan telah Allah hindarkan dia dari musibah serta dituangkan kepadanya berbagai kenikmatan maka ketahuilah bahwasanya Allah menginginkan kejelekan kepadanya, karena Allah mengakhirkan balasan dari perbuatan dosanya sampai dicukupkan balasannya pada hari kiamat. Apabila Allah Mencintai Suatu Kaum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ"Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah Ta'ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka (dengan suatu musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah)." (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.146) "Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian" yakni semakin besar ujian, semakin besar pula balasannya. Maka cobaan yang ringan balasannya pun ringan sedangkan cobaan yang besar/berat maka pahalanya pun besar karena sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mempunyai keutamaan terhadap manusia. Apabila mereka ditimpa musibah yang berat maka pahalanya pun besar dan apabila musibahnya ringan maka pahalanya pun ringan. "Dan sesungguhnya Allah Ta'ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka" ini merupakan kabar gembira bagi orang beriman, apabila ditimpa suatu musibah maka janganlah dia menyangka bahwa Allah membencinya bahkan bisa jadi musibah ini sebagai tanda kecintaan Allah kepada seorang hamba. Allah uji hamba tersebut dengan musibah-musibah, apabila dia ridha, bersabar dan mengharap pahala kepada Allah atas musibah tersebut maka baginya keridhaan (dari Allah), dan sebaliknya apabila dia marah maka baginya kemarahan (Allah). Dalam hadits ini terdapat anjuran, pemberian semangat sekaligus perintah agar manusia bersabar terhadap musibah-musibah yang menimpanya sehingga ditulis/ditetapkan untuknya keridhaan dari Allah 'Azza wa Jalla. Wallaahul Muwaffiq.

Rabu, 28 November 2007

akhi...beginikah??? Ayo akhi.... semangatlah!!!

Hudzaifah Ibnul Yaman: Sang Intelijen Rasulullah

Rasulullah saw. menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.
Sudah menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap keistimewaan para sahabatnya dan menyalurkannya sesuai dengan bakat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni, menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang selalu dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja.
Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan Shaahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).
Suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah, beliau memilih orang yang cerdas, tanggap, dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tidak tertangguhkan, serta kesulitan-kesulitan yang tidak teratasi.
Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan, menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah SWT. Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, Allah menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kuali, dan belanga, memadamkan api, menyiramkan muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.
Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil putusan melalui musyawarah.
Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah Ibnul Yaman untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka, beliau memutuskan untuk mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan dia bercerita, bagaimana dia melaksanakan tugas maut tersebut. Hudzaifah berkata, “Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin Mekah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alamigelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari sendiri.
Angin bertiup sangat kencang, sehingga desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin pulang kepada Rasulullah, dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal, sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap orang yang minta izin pulang diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan hanya tinggal 300 orang. Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai didekatku, aku sedang meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya,“siapa ini!”“Hudzaifah!” jawabku.“Hudzaifah!? tanya Rasulullah minta kepastian. ?Aku merapat ke tanah, sulit berdirikarena sangat lapar dan dingin.?“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera?!” kata beliau memerintah.Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk.Maka, Rasulullah berdoa, “Wahai Allah! lindungilah dia, dari hadapan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! sesudah Rasulullah saw. selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!”Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”
Lalu, aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando. Ia berkata, “Hai, pasukan Quraisy! dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”Mendengar ucapan Abu Sufyan, aku segera memegang tangan orang yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”Jawabnya, “Aku si Anu, anak si Anu!”Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy! demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”
Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang salat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu, kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT. Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekalipun yang mencoba mengorek rahasia tetap ia tidak mau membocorkannya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khathtab r.a. ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu ?” Jika mereka menjawab, “Ada,” beliau turut menyalatkannya
. []

UNTUK SUAMIKU TERCINTA DAN AKHI HUDZAIFAH YANG SERING LUPA OLAHRAGA


HIDUP SEHAT ALA ROSULULLAH

Rasulullah saw adalah suri tauladan kita. Sekalipun beliau berkata bahwa kita lebih mengerti urusan dunia kita dari pada beliau, tetapi bukan berarti beliau tidak mengerti masalah-masalah duniawi, terutama hidup yang efektif dan sehat.
Bukan berarti beliau terbebas dari penyakit. Tapi, saat-saat kesehatan beliau mendapat musibah bisa dihitung dengan jari satu tangan. Berbeda dengan manusia sekarang, yang sangat rentan terserang penyakit.
Apa sih rahasianya? Berikut ini adalah muwashoffat hidup sehat beliau
1. SELALU BANGUN SEBELUM SUBUHRasul selalu mengajak ummatnya untuk bangun sebelum subuh, melaksanakan sholat sunah dan sholat Fardhu, sholat subuh berjamaah. Hal ini memberi hikmah yg mendalam antara lain :- Berlimpah pahala dari Allah SWT- Kesegaran udara subuh yg bagus untuk kesehatan / terapi penyakit TB- Memperkuat pikiran dan menyehatkan perasaan.
2. AKTIF MENJAGA KEBERSIHANRasulullah SAW selalu sentiasa rapi & bersih, tiap hari kamis atau Jumaat beliau mencuci rambut-rambut halus di pipi, selalu memotong kuku, bersisir dan berminyak wangi. “Mandi pada hari Jumaat adalah wajib bagi setiap orang-orang dewasa. Demikian pula menggosok gigi dan pemakai harum-haruman” (HR Muslim).
3.TIDAK PERNAH BANYAK MAKANSabda Rasulullah SAW : “Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan tidak terlalu banyak (tidak sampai kekenyangan)“, (Muttafaq Alaih).Dalam tubuh manusia ada 3 ruang untuk 3 benda : Sepertiga untuk udara, sepertiga untuk air dan sepertiga lainnya untuk makanan. Bahkan ada satu tarbiyyah khusus bagi ummat Islam dengan adanya Puasa Ramadhan untuk menyeimbangkan kesehatan.
4. GEMAR BERJALAN KAKI Rasulullah SAW selalu berjalan kaki ke Masjid, Pasar, medan jihad, mengunjungi rumah sahabat, dan sebagainya. Dengan berjalan kaki, keringat akan mengalir, pori-pori terbuka dan peredaran darah akan lancar. Ini penting untuk mencegah penyakit jantung.
5. TIDAK PEMARAH Nasihat Rasulullah SAW: “Jangan Marah” diulangi sampai 3 kali. Ini menunjukkan hakikat kesehatan dan kekuatan Muslim bukanlah terletak pada jasadiyah belaka, tetapi lebih jauh yaitu dilandasi oleh kebersihan dan kesehatan jiwa. Ada terapi yang tepat untuk menahan marah :- Mengubah posisi ketika marah, bila berdiri maka duduk, dan bila duduk maka berbaring- Membaca Ta ‘awwudz, karena marah itu dari Syaithon- Segeralah berwudhu- Sholat 2 Rokaat untuk meraih ketenangan dan menghilangkan kegundahan hati
6. OPTIMIS DAN TIDAK PUTUS ASA Sikap optimis akan memberikan dampak psikologis yang mendalam bagi kelapangan jiwa sehingga tetap sabar, istiqomah dan bekerja keras, serta tawakal kepada Allah SWT.
7. TAK PERNAH IRI HATI Untuk menjaga stabilitas hati & kesehatan jiwa, mentalitas maka menjauhi iri hati merupakan tindakan preventif yang sangat tepat. "Ya Allah,bersihkanlah hatiku dari sifat sifat mazmumah dan hiasilah diriku dengan sifat sifat mahmudah".

doa seorang Istri....

Do'a Istri Modal Jihad Suami

HR Tirmidzi : “Tiada satupun yang lebih mulia bagi Allah melainkan do'a”.

Do’a adalah senjata, do’a adalah bukti begitu kecilnya kita sebagai hamba.Tidak pantas kita menyombongkan diri karena hanya kepada Allah sajalahkita memohon pertolongan dan perlindungan.Apalagi do’a seorang istri kepada suami, seperti kisah Nabi Ayub as.Ia diuji dengan bencana yang menimpa fisiknya.Tubuhnya tidak menyisakan satu lobang jarumpun yang sehat.Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menolongnya, selain istrinya yangtetap memelihara cintanya karena Allah.Istrinya selalu melayaninya dan selalu mendo’akan sang suami untuk kesembuhannya,maka Allah mengabulkan do’anya, memperkenankan permohonannya.Lalu Allah memerintahkan Nabi Ayub untuk bangkit dan menjejakkan kakinya ke tanahdan Allah mengeluarkan mata air dari dalam tanah dan menyuruhnya mandi dengan air itu.Lalu, Allah menghilangkan seluruh penyakit yang ada di tubuhnya.Itulah buah dari do’a istri yang sholehah.Do’a Perempuan lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuatdaripada lelaki, ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab Baginda,“Ibu lebih penyayang dari pada Bapa, dan do’a orang yang penyayang tidak akan sia-sia”.
Saya jadi teringat diskusi kecil dimalam hari, suami saya protes karena saya duahari kemarin tidak mendo’akannya karena biasanya setiap hari saat berangkat kerja saya selalu mendo’akan suami tercinta agar dimudahkan segala urusannya dan sebetulnya ini sudah menjadi kesepakatan bersama waktu syuro malam pertama, memang malam pertama kami habiskan untuk syuro dari mulai agenda evaluasi proses, panggilan sayang, ekonomi keluarga hingga saling mendo’akan saat berpisah baik itu liqo, rapat atau kegiatan dakwah dan kepergian lainyannya. Dua hari kemarin saya tidak melakukan ritual perpisahan, soalnya lagi memendam perasaan kecewa dan sebel terhadap suami maklum lagi baby blues kali... Suami saya menceritakan, ”Mbak dua hari ini tidak do’ain saya, hari pertama hampir syahid tabrakan hingga kaca samping kiri mobil pecah, hari kedua ban pecah hingga dua kali berturut-turut, besok hari ketiga ga apa-apa tidak dido’ain tapi kalo syahid minta di ikhlaskan”. Saya beristighfar dan terbengong-bengong antara percaya gak percaya dan merasa bersalah juga sampai beliau harus mengalami hal seperti itu. Apakah sebegitu dahsyatnya keampuhan do’a istri kepada suami.
Kepergian suami di pagi hari dalam rangka mencari nafkah dituliskan sebagai pahala jihad oleh Allah SWT, maka apa salahnya dan seberapa sulitnya sebagai istri melayani danmempersiapkan segala keperluannya, karena Allah menjanjikan dalam HR Bukhari-Muslim :“Barang siapa menyiapkan perlengkapan orang yang akan berjihad di jalan Allah, maka ia pun dinilai seperti orang yang berjihad”.
Nah, para calon istri (hmmm...hm...)yang ingin setiap hari dapat pahala jihad layani suami anda dengan sebaik-baiknya, ingatkan kalo waktunya syuro, liqo, dan kegiatan dakwah lainnya dan jangan lupa antarkan kepergiannya dengan senyuman dan ucapkan do’a :"Zawadakillahu Taqwa Wa Ghafara Dzanbaki Wa Yasara Laki Haitsu Ma Kunti"artinya : Semoga Allah menambahkan ketaqwaan kepadamu, mengampuni dosamu dan melancarkan segala urusanmu dimana saja.
Agar suami anda berangkat jihad dengan lapang dan penuh semangat.Wallahu’alam (Laila_hikmah).

Senin, 26 November 2007

MATI....

La In Syakartum La Aziidannakum Wa Lain Kafartum Inna ‘Adzaabi La Syadiid
Jika kamu bersyukur atas nikmat yang Ku-berikan kepadamu, maka akan Aku tambah nikmat itu, tapi jika kamu mengingkarinya (tidak mau bersyukur), maka ingatlah bahwa siksa-Ku sangatlah pedih.
Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah S.A.W. telah bersabda :
“Apabila telah mati anak Adam itu, maka terhentilah amalnya melainkan tiga macam :
1. Sedekah yang berjalan terus (Sedekah Amal Jariah)
2. Ilmu yang berguna dan diamalkan.
3. Anak yang soleh yang mendoakan baik baginya.
Rasulullah S.A.W. “Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir.
Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas, Ia berlindung sejenak dibawah pohon,
kemudian berangkat dan meninggalkannya.”